Pages

Monday, July 9, 2012

Asing Disinyalir Domplengi Kelompok Petani Tembakau AMTI

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kelompok petani tembakau dan pelaku industri kretek nasional mengecam sikap Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) yang mendorong pemerintah pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tembakau.

Pernyataan sikap AMTI tersebut disinyalir bentuk dukungan RPP Tembakau dari para produsen rokok besar dan dimiliki asing. "Akhirnya semakin terbukti, korporasi-korporasi asing lah yang diuntungkan oleh RPP Tembakau. Dalam hal ini, industri farmasi, juga perusahaan rokok putih, yang suaranya diwakilkan pada AMTI," kata
Koordinator Nasional Komunitas Kretek, Abhisam DM, di Jakarta, Senin (9/7/2012).

Melalui keterangan pers yang dikirim ke media, sebelumnya AMTI memberikan pernyataan sikap dukungan pengesahan RPP Tembakau.

Menurut Abhisam, pernyataan AMTI tersebut menjadi fakta yang membingungkan publik. Sebab, pada awal pekan lalu, sekitar 7 ribu petani tembakau yang mayoritas anggota Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) melakukan aksi massa menggugat beberapa kementerian untuk menuntut pembatalan RPP Tembakau itu.
"Bagaimana bisa sesama kelompok petani tembakau memiliki dua sikap yang bertolak belakang?" ujarnya.

Abhisam menjelaskan, bahwa AMTI adalah alat kepanjangan tangan sebuah perusahaan rokok putih yang sudah dimiliki Amerika Serikat (AS), dan menguasai 30 persen pangsa pasar perokok Indonesia. Sementara, beberapa pasal dalam RPP Tembakau sangat menguntungkan perusahaan rokok putih. 

Hal itu sesuai dengan penelusuran di website AMTI, asosiasi itu berafiliasi dengan PT HM Sampoerna, yang terafilisasi dengan perusahaan Philip Morris, perusahaan rokok internasional berbasis di AS. Philip Morris merupakan perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki Altria Group, raksasa industri rokok, industri tembakau tanpa asap (smokeless tobacco), dan makanan dunia. Salah satu produk terkenal perusahaan itu adalah rokok putih Marlboro.

Sebagai contoh pasal yang menguntungkan industri rokok besar adalah Pasal 12 di RPP Tembakau. Abhisam mengatakan pasal itu mewajibkan pembuktian keamanan bagi bahan tambahan pada produk tembakau.

Bagi produsen rokok putih yang komposisinya sederhana, pasal itu nyaris bukan masalah. Tapi, bagi kretek yang mengandung bahan tambahan mulai dari cengkeh, saus, hingga rempah-rempah khusus, sudah tentu pasal ini menjadi kendala.

Sebab, produsen rokok kretek yang biasanya berskala kecil dan menengah, akan mendapat kewajiban pembuktian pra-produksi yang memakan ongkos tinggi. Hal itu akan berkonsekuensi pada kenaikan harga eceran.

Selain itu, kata Abhisam, jamak diketahui bahwa saus adalah resep rahasia yang hanya diketahui oleh masing-masing pabrik.

"Jika aturan pembuktian keamanan bahan tambahan diberlakukan, otomatis masing-masing produsen kretek dipaksa membuka rahasia dapur mereka," bebernya. 

Seperti pernah diungkapkan anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, RPP Tembakau akan mendorong pengusaha skala kecil dan menengah di industri tembakau Indonesia untuk menjual kepemilikannya ke perusahaan rokok besar asing. Ketatnya aturan akan membuat biaya semakin tinggi dan hanya bisa diikuti pemodal besar. Sayangnya masalah kepemilikan itu tak diatur oleh RPP Tembakau.

"Yang dikhawatirkan adalah adanya indikasi alibi kesehatan sebagai kedok kepentingan asing dalam kuasa mengatur lalu lintas niaga tembakau, dan di sisi lain adanya indikasi perang industri farmasi dan industri rokok asing," kata Rieke.

"Saya jadi berpikir, ketika industri rokok dalam negeri, terutama yang berskala menengah ke bawah kolaps, apakah berarti di RPP itu dijamin tak akan ada rokok yang beredar di Indonesia? Ini era pasar bebas, apa jaminannya lalu kemudian masyarakat jadi tidak merokok? Tak ada jaminan. Bahkan yang mungkin terjadi masyarakat akhirnya mengkonsumsi rokok merk luar namun sebetulnya diproduksi di dalam negeri."

Dia melanjutkan bahwa dia bukannya ingin mendebat bahayanya rokok bagi kesehatan. Rieke bahkan mengaku secara prinsip sepakat untuk menyetujui RPP Tembakau asalkan berisi pengaturan tata niaga tembakau yang berpihak pada petani dan buruh tani tembakau Indonesia.

"Saya malah mendesak agar ada RPP tembakau yang mampu memotong jalur percaloan dalam tata niaga tembakau. Saya mendesak agar ada aturan dan sanksi yang jelas bagi praktek ijon dan pengepulan tembakau hasil panen dari petani yang membuat keuntungan tidak diterima petani tembakau, tapi justru memperkaya para makelar," tegas pemeran 'Oneng' dalam program acara televisi sitkom 'Bajaj Bajuri' tersebut.
(Abdul Qodir)

0 comments: